"saya senang" Cerpen Tiga Pohon di Padang Rumput

Tiga Pohon di Padang Rumput
Cerpen Kiriman: Yudha Patria Yustianto

Orang-orang desa suka mencari rumput gajah untuk makan ternak di padang rumput sebelah sana, di pinggir perkampungan. Padang rumput yang luas, luas sekali… mereka tidak berani ambil rumput jauh-jauh ke tengah padang, karena rumput yang ada di pinggiran saja sebenarnya sudah cukup banyak untuk di makan oleh ternak-ternak mereka. Padahal jika mereka mau masuk lebih dalam ke hutan rumput yang melebihi tinggi orang dewasa itu, mereka bakal menemukan sebuah tempat nyaman yang tersembunyi, cocok untuk duduk dan merenung. Tempat itu tak punya nama, dan ada tiga buah pohon yang tumbuh di sana.

Tiga pohon itu sudah lama ada di sana, umurnya tua sekali. Masing-masing dari jenis yang berbeda, salah satunya melebarkan akar ke sekitar sehingga tidak ada rumput yang tumbuh di sekitar pohon-pohon itu. Sayangnya, pohon itu terlalu jauh dari pinggir perkampungan, sehingga tidak ada orang satupun yang memperhatikannya. Terlihat, memang… tapi tidak ada yang memperhatikannya. Sama seperti tak ada yang memperhatikan awan putih di langit, karena terlalu sibuk dengan urusan di tanah.

Ada dua orang yang suka ke sana, dulu… dulu sekali. Mereka berdua sudah merantau ke kota sekarang, tapi dulu… mereka berdua sering menghabiskan waktunya di tempat rahasia itu.

Dulu mereka masih kecil-kecil, umur sepuluh tahunan. Yang satu badannya kurus kering, bergigi tonggos. Kakinya berhias koreng dan bekas bisul-bisul yang sudah mengering. Yang satunya berbadan gendut, tinggi besar berkulit lebih gelap dari Si Kurus. Setiap sore pulang sekolah, mereka suka nongkrong di sana. Diam saja, kadang-kadang membawa komik, atau buku tulis dan pensil untuk menggambar dan membuat puisi. Si Kurus, selalu berbicara dengan logat Jawa yang kental, dan Si Gendut bicara dengan logat Indonesia biasa.

Mereka berdua pergi ke tempat itu awalnya hanya kebetulan. Ketika bermain-main ke tengah padang rumput untuk berpetualang. Menenteng sebilah potongan bambu sebagai pedang, dan berlaku seperti tokoh kartun favorit mereka di televisi. Mereka berdua dulu adalah ksatria samurai tak terkalahkan yang suka membela kebenaran dan membasmi monster-monster jahat di desa itu. Dengan pedang yang mereka bawa, mereka masuk ke padang rumput untuk mencari sarang monster yang mengancam ketentraman desa. Disisirnya oleh mereka sulur-suilur kaki gurita setinggi 2 meter yang muncul dari dalam tanah. Si Gendut terluka parah karena kaki gurita ini ternyata beracun, menyebabkan luka baret pada tangan dan mukanya. Si Kurus dengan gagah memotong sulur-sulur beracun itu. Mereka mencoba untuk kabur dari serangan gurita dalam tanah, namun semakin dalam mereka masuk ke sarang musuh, semakin banyak kaki gurita yang harus di lawan… hingga mereka menemukan tempat ini. Sebuah oasis di tengan kekacauan.
Tiga pohon itu berdiri tegak, memberikan mereka perlindungan. Mereka naik ke satu pohon paling besar, yang cabang pertamanya tak terlalu jauh dari atas tanah. Mereka berdua duduk di situ, dan memandang sekeliling.

“Lihat…” seru Si Gendut.
“Kita sudah di kepung musuh!!”
“Anjing!! Kita harus istirashat dulu! Nanti kita lawan mereka lagi!” Si Kurus terengah-engah dan terkulai tengkurap di batamg pohon.
“Edan… kamu nonton samurai yang kemarin tidak?” kata Si Gendut.
“Iya! Tokoh utamanya kewalahan ngadepin monster gurita… parah itu, dia mengeluarkan jurus terakhir tapi tetap tidak mempan!”
“Iya, musuhnya kebanyakan!”

Lalu mereka ngobrol tentang film kartun yang mereka tonton kemarin, sampai suara adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Sayup-sayup di bawa gelombang angin yang kadang kencang kadang sepoi. Mengantar mereka berdua ke pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum sampai di rumah, di jalan mereka bersepakat, kalau besok dan seterusnya, itu akan menjadi makas rahasia mereka.

“Jangan kasih tau anak-anak, nanti pada main ke sana. Sudah, kita saja yang main di situ.” Kata Si Gendut dengan raut sengit.
“Kenapa? Bukannya malah enak ya, ramai…”
“Kita kan ketua anak-anak RT 2, kalau pada main ke sana, nanti si Niken kasih tau ke si Fadli… Fadli kan dari RT 4…”
“RT musuh.”
“Iya…”
Si Kurus manggut-manggut. Ia paham maksud Si Gendut. Si Niken memang bukan sembarang tukang gosip, tapi dia juga pacar anak RT 4. Mereka tidak rela kalau markas rahasia mereka nanti dikuasai anak-anak RT 4.

Besoknya sepulang sekolah, mereka berdua langsung pergi ke markas rahasia. Si Gendut membawa komik yang baru disewanya. Komiknya ada 4 buah, dan judulnya sama… sama seperti film kartun favoritnya. Si Kurus dan Si Gendut nongkrong di pohon yang sama, membaca komik dengan khusyuk. Matahari sore itu terik, tapi dedauan di atas mereka meneduhkan. Seiring dengan bertambahnya halaman yang mereka baca, keringat di badan mereka mengering di hembus angin. Angin yanmg bukan sembarang angin, tapi angin berbau garam yang di bawa dari laut. Kristal-kristal garam terbentuk di bekas basah keringat mereka, berbentuk butir-butir kecil berwarna putih. Mereka baca komik dengan teliti, adegan demi adegan, huruf per huruf… Alam mereka terbawa ke dunia lain penuh fantasi, petualangan mendebarkan. Jiwa-jiwa mereka menyala seperti bara pada arang yang di kipas tukang sate. Menghangatkan dinginnya tiga pohon di tengah padang rumput tak terjamah itu.

Dua tahun lamanya mereka berdua, Si Gendut dan Si Kurus, menjadikan pohon itu sebagai markas rahasia. Sampai akhirnya mereka lulus SD, dan masuk SMP. Perlahan dan bertahap, mereka mulai larut pada kesibukan di sekolah. Apalagi mereka sudah beda sekolah sekarang. Si Kurus masuk pagi, pulang siang, dan Si Gendut masuk siang pulang sore. Mereka jadi jarang bertemu. Si Kurus lalu pindah ke kota lain. Si Gendut menyusul tak lama sudah itu.

Sudah lima belas tahun sejak hari-hari itu, padang rumput di sana tetap pada tingginya semula. Rumput yang tua mati, dan yang muda tumbuh sampai ketinggian yang sama, lalu mati, dan digantikan dengan yang muda lagi. Tiga pohon itu masih di dalam padang rumput itu. Masih di tiup oleh angin berbau garam yang di bawa dari lautan. Di sore hari, gemerisik dedaunan di pohon itu bersenandung sendu. Menyambut suara adzan maghrib sayup-sayup di kejauhan.

Cerpen Karangan: Yudha Patria Yustianto
Facebook: facebook.com/jimbrene
untuk info lebih jelasnya langsung ke penulisnya yah ^_^
http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/tiga-pohon-di-padang-rumput.html

0 Response to ""saya senang" Cerpen Tiga Pohon di Padang Rumput"

Post a Comment

Histat