Seindah Jalan Cinta-Nya
Cerpen Kiriman: Cakrawala
Senja mulai pergi menjemput malam. Langit di ujung cakrawala kini tak
lagi biru, ia telah memancarkan polesan warna jingga senja dalam balutan
gradasi warna yang begitu indah. Paduan warna yang
tergambar jelas dan nyata, memantapkan pesan kekuasaan-Nya. Awan
berarak ceria mengantarkan sang raja siang ke peraduan dan menjemput
bidadari malam yang kan menyinari bumi tuhan ketika gelap telah
menyelimuti. Tiba-tiba seekor burung terbang melintas cepat bagai kilat
menyambar. Sayapnya kokoh membentang, menantang desir angin yang
menghalau. Matanya yang bundar menatap tajam kedepan. Tak takut pada
apapun yang menghadang. Burung itu seolah menjadi pelengkap nuansa
pemandangan alam sore ini.
Kumandang adzan mulai terdengar
bertalu-talu dari beberapa masjid, pertanda malam segera menyelimuti
alam. Panggilan Allah Sang Maha Pencipta membuatku bangkit, tak ingin
lagi berlama-lama menunda pertemuan dengan-Nya.
Mensyukuri segala
nikmat yang telah tercurah. Termasuk nikmat memandang indahnya semesta
alam sore ini. Karena aku tak tau kapan aku akan menghadap kepada-Nya,
aku takut ketika aku di panggil oleh-Nya, aku belum mempunyai bekal
apa-apa. Sedang untuk menjawab seruannya saja, aku masih menunda. Aku
tak mau hal itu terjadi padaku.
—
“Harlan!”
Aku segera menoleh ketika mendengar namaku di panggil dari arah
belakang. Terlihat Arya yang sedang berusaha mengejar langkahku.
“Dari mana?” Tanyanya setelah berhasil menyejajari langkahku.
“Dari masjid. Kamu sendiri dari mana kok mukanya kayak abis bangun
tidur kayak gitu?” tanyaku setelah memperhatikan wajah Arya yang
terlihat kucel dan berantakan.
“Aku dari kost kakak, tadi abis
magrib ketiduran dan aku emang belum mandi. He…” Arya cengengesan.
“Niatnya sih mau nginep disana, tapi berhubung aku ada tugas yang mesti
dikumpulin besok dan tugasnya ada di asrama, yah akhirnya aku balik ke
asrama deh.”
Jam di handphoneku menunjukkan pukul delapan
malam, asrama terlihat lengang. Beberapa sedang berkumpul di pojok lobi,
entah sedang mengerjakan apa, belajar atau mungkin sedang ada rapat.
Aku dan Arya berlalu dari lobi menuju ke kamar kami di lorong tujuh
lantai dua gedung ini. Begitu sampai di lorong, kami mendapati banyak
anak yang sedang berkerumun di depan pintu kamar. Aku dan Arya saling
pandang, sama-sama bingung karena tidak tau ada kejadian apa, seharian
ini kami tidak berada di asrama. Aku segera mempercepat langkah menuju
kamar, begitupun dengan Arya.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam,” anak yang berkerumun di depan kamar menoleh mendengar
salam yang kami ucapkan. Setelah tahu bahwa kami yang datang, mereka
segera memberi kami jalan untuk masuk ke kamar.
Setelah masuk,
aku melihat Ares, teman sekamarku dan Arya, terbaring di atas tempat
tidur. Di sampingnya ada Kak Subhan, kakak pendamping yang juga tinggal
di asrama.
“Ares kenapa Kak?” Tanya Arya mendahuluiku.
“Tadi dia tiba-tiba pingsan saat kita sedang tilawah bersama di
musholla. Dari tadi sebelum magrib, kakak melihat wajahnya pucat dan dia
juga mengeluh punggungnya sakit. Kalian tau dia sakit apa?” Kak Subhan
memandang kami berdua bergantian. Kami menggeleng.
Kami memang
tidak tahu kalo Ares sedang sakit. Beberapa minggu ini Ares jadi sedikit
pendiam dan tenggelam bersama pelajaran dan ibadah pada-Nya. Ia hampir
tidak pernah meninggalkan shalat tahajud, shalat dhuha, puasa sunah, dan
segala macam ibadah lainnya. Interaksi kami bertiga sebagai teman
sekamarnya semakin jarang, selain karena kesibukan kami masing-masing,
ia juga terkesan tidak mau membuang waktu untuk sejenak bersantai dan
mengobrol bersama kami. Ia benar-benar tenggelam dan menikmati berbagai
kesibukannya.
“Beberapa hari ini dia memang sedikit terlihat
kurang bersemangat, wajahnya juga sering terlihat kuyu. Mungkin karena
dia terlalu lelah dengan berbagai aktivitas yang ia jalani. Saat aku
menasehatinya agar ia beristirahat dan meninggalkan kesibukannya
kemarin, ia menolak dan tetap beraktivitas dengan alasan lelah adalah
resiko dari setiap perjuangan. Malah ia berangkat dari pagi dan baru
kembali ketika pintu gerbang asrama hampir di tutup lagi. Seharian ini
kami tidak di asrama, jadi kami tidak tau bagaimana kondisi Ares.” Arya
lagi-lagi mendahuluiku menjelaskan panjang lebar kondisi Ares pada Kak
Subhan.
Kak Subhan lalu menoleh kepadaku, “Lan, kamu kan punya
motor, besok ajak Ares periksa ke dokter ya. Kalau dia gak mau, paksa
aja, biar jelas dia sakit apa dan bisa segera di obati. Kabari Sakti
juga jangan lupa.”
“Iya Kak, Insya Allah.”
“Ya sudah sekarang kakak keluar dulu, kalian jaga Ares ya. Tunggu sampai sadar.” Aku dan Arya mengangguk patuh.
“Yang lain balik ke kamar masing-masing ya, lanjutin belajarnya. Jangan
lupa do’ain Ares agar lekas sembuh.” Perintah Kak Subhan kemudian
sembari berlalu dari kamarku. Satu-persatu anak meninggalkan aku dan
Arya di kamar. Akhirnya kami hanya tinggal bertiga dengan Ares yang
masih terbaring tak sadarkan diri.
“Kira-kira Ares kenapa ya, Lan?”
Aku hanya diam mendengar pertanyaan Arya barusan. Sebuah pertanyaan retorik yang tak memerlukan jawaban pasti
—
Aku berjalan menyusuri lorong yang terasa sangat panjang, tapi ini
bukan lorong asrama yang biasa aku lewati, lorong ini sangat terasa
asing. Suasananya penuh dengan suasana kesedihan, kesakitan,
ketersiksaan, dan penuh dengan kepiluan. Ya. Aku sedang berjalan di
lorong rumah sakit. Seminggu yang lalu Ares akhirnya di rujuk ke rumah
sakit saat keadaannya semakin mengkhawatirkan pasca pingsan malam itu.
Esoknya saat aku mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter, ia
bersikeras menolaknya. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena pada dasarnya
Ares adalah orang yang keras kepala dan tak bisa di paksa bila tak
menyukai sesuatu. Aku lihat dia juga sering mengkonsumsi obat-obatan.
Entahlah obat apa yang ia konsumsi, saat aku tanya dia selalu mengelak
dan hanya menjawab kalau itu hanyalah vitamin dan suplemen penambah
tenaga. Tapi aku tak sebodoh itu dan percaya pada ucapannya begitu saja.
Diam-diam aku aku mengambil bungkus obat yang dia buang di tempat
sampah kamar kami dan aku bawa ke poliklinik kampus. Saat aku memberikan
bungkus obat itu kepada dokter, ia langsung bertanya, “Siapa yang
mengkonsumsinya? Kamu?” Aku hanya bisa menggeleng dan menjelaskan bahwa
itu adalah obat yang biasa dikonsumsi oleh seorang teman. Dokter itu
lalu menjelaskan segalanya tentang obat itu dan penyakit yang membuat
seseorang mengkonsumsi obat itu. Dan akupun akhirnya tahu apa penyakit
yang di derita Ares dan selalu ia tutup-tutupi.
Dengan perasaan
sedih bercampur kecewa, aku kembali ke asrama. Begitu tiba di gerbang
aku melihat kerumunan anak penghuni asrama di depan pintu asrama. Di
sana juga telah terparkir ambulan dengan keadaan siap berangkat. Tanpa
berpikir panjang aku segera memarkir motor sembarangan di dekat pos
satpam, lalu bergegas lari. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, bayangan
wajah Ares yang ceria dan kata-kata dokter tadi melayang-layang di
otakku.
Dugaanku tak meleset, Ares pingsan lagi ketika baru
tiba di lobi asrama. Kak Subhan segera menghubungi ambulan kampus untuk
membawa Ares ke rumah sakit. Saat itu perasaanku sudah campur aduk,
antara bingung, sedih, marah, dan kecewa. Kenapa semua ini harus terjadi
pada Ares, sahabatku yang selalu ceria.
Perlahan aku membuka
pintu kamar rawat Ares, suasananya sangat sepi. Arya dan Sakti yang
kebagian bertugas menjaga malam tadi, tertidur pulas di sofa.
Kelihatannya mereka kecapekan karena menjaga Ares semalaman. Aku
membiarkan mereka berdua karena hari ini adalah hari libur kuliah,
sehingga mereka tak perlu kembali cepat-cepat kembali ke asrama.
Lalu aku beralih pada sosok Ares yang sedang terbaring di ranjang.
Wajahnya menampakkan rona kelelahan yang amat sangat, kepasrahan dan
kesakitan. Badannya juga terlihat semakin kurus dari pada beberapa bulan
yang lalu. Ia terlihat berbeda dengan Ares saat pertama kali aku kenal.
Dulu ia begitu bersemangat dalam segala hal dan selalu ceria, kapanpun
dan dimanapun. Di antara kami berempat, dia yang paling sehat karena
selalu berolahraga setiap pagi sehabis sholat subuh. Entah hanya
lari-lari kecil, push-up, sit-up, dan olahraga lainnya. Ia juga paling
rapi di antara kami untuk urusan kamar dan penampilan. Dan ia juga
paling rajin dalam urusan ibadah, organisasi, dan dakwah.
Mataku tiba-tiba panas, air mata ku tiba-tiba keluar tanpa diminta. Aku
tak percaya, sosok yang terbaring lemah dihadapanku ini adalah Ares,
sahabatku. Tapi aku bukan teman yang cengeng, aku tidak ingin
memperlihatkan kesedihanku sehingga membuat Ares akan lebih sedih
nantinya. Segera aku menghapus air mataku.
“Gak nyangka,
ternyata seorang Harlan bisa nangis juga?” Dalam lirihan yang hampir tak
terdengar, Ares menggodaku. Ia ternyata telah sadar. “Kenapa nangis?
Aku kan gak kenapa-kenapa.”
Aku tesenyum dan mengelak, “Siapa yang nangis, aku kelilipan kok.”
Ares tertawa, tapi bukan seperti orang tertawa. Ia terlalu lemah untuk
sekedar tertawa dan wajahnya tetap tampak kesakitan. Kami kembali
terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, aku
mencoba memberanikan diri, menanyakan perihal penyakit yang
dideritanya.
“Bang,” Panggilanku kepada Ares yang memang lebih tua dariku. Ares menolehkan kepalanya padaku.
“Kenapa Abang gak bilang kalo Abang mengidap kanker darah?” Ares
terlihat bingung, mungkin tak mengira kalau aku tau tentang penyakitnya.
Ia berpaling dariku dan menatap plafon kamar. Dengan ekspresi tenang ia
menjawab, “Buat apa, Lan? Penyakit kanker bukan sesuatu yang pantas di
pamerkan.”
“Tapi bukan gitu juga caranya, Bang. Setidaknya
abang ngasih tau ke aku, Arya, atau Sakti. Kita kan sahabat abang,
bahkan aku anggap abang tuh saudara kandung aku sendiri. Apakah abang
belum menganggap kita sahabat, jadi abang enggan cerita sama kita soal
sakit abang itu?”
“Jangan ngaco kamu, Lan. Kalian sudah seperti
pengganti keluarga bagiku. Tapi aku tidak ingin merepotkan kalian
dengan penyakit aku ini. Lagi pula aku sudah pasrah dengan kehendak
Allah padaku, Ia lebih tau apa yang terbaik untukku”
“Kalo kita
memang keluarga, seharusnya jangan ada satupun rahasia di antara kita,
Bang, apalagi ini masalah besar dan menyangkut jiwa.” Aku mendesah
pelan, “Kalo memang anggap aku saudara, ijinkan aku membantu abang untuk
sembuh dari penyakit abang. Ijinkan aku untuk menjadi pendonor sumsum
tulang belakang untuk abang.”
Ares terperanjat mendengar
kata-kataku. Ia menggeleng cepat. “Jangan Lang, itu berbahaya, resikonya
terlalu besar, aku gak mau terjadi apa-apa sama kamu.”
“Tapi
Bang, itu satu-satunya cara agar abang bisa sembuh. Hanya donor sumsum
tulang belakang satu-satunya cara untuk mengobati penyakit leukemia.”
Aku bersikeras, tapi Ares tetap menggeleng tak setuju.
“Siapa yang sakit leukemia?” Sakti tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku dan Ares terdiam, tak mampu menjawab.
—
Setelah seminggu di rawat di rumah sakit, banyak teman-teman seasrama
yang datang menjenguk, tak terkecuali Kak Subhan dan beberapa kakak
pendamping asrama yang lain. Selain itu juga teman sekelas dan
teman-teman satu organisasinya. Begitu banyak yang mengunjungi dan
khawatir dengan keadaannya, menandakan bahwa Ares adalah seorang yang
begitu disenangi oleh banyak orang. Sangat pantas memang. Bahkan dosen
pun meluangkan waktu untuk menjenguknya.
Namun berkali-kali
ditanya tentang penyakitnya, Ares diam seribu bahasa. Dia hanya berkata
kalau dia sedang terlalu lelah dan sakit thypus biasa. Tapi beberapa
dari teman-teman kurang percaya, hanya saja mereka tak bertanya lebih
lanjut karna tak ingin ikut campur urusan pribadi Ares.
Sakti
dan Arya akhirnya tahu tentang penyakit yang di derita Ares. Aku
menceritakan semuanya ketika awalnya Sakti tak sengaja mendengar
obrolanku dengan Ares tentang donor sumsum tulang belakang. Mereka
berdua pun mendesak Ares agar mengijinkan mereka juga ikut tes darah.
Ares bersikeras menolak, tapi ini sudah menjadi keputusan bulat dari
kami bertiga. Sehingga tanpa sepengetahuannya, kami berkonsultasi dengan
dokter dan akhirnya melakukan tes darah.
Saat ini adalah waktu
hasil pemeriksaan keluar. Aku, Arya, dan Sakti kini berada di ruang
dokter, menunggu dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama dokter datang
membawa hasil tes darah kami. Ia lalu membagikannya kepada kami.
“Setelah tes, ternyata kadar kecocokan kalian bertiga sama-sama tinggi,
saya menyarankan agar saudara Harlan yang menjadi donor, karena tingkat
kecocokan saudara dengan pasien paling tinggi, sehingga akan mengurangi
resiko pada pasien, asalkan kondisi saudara Harlan juga sehat. Saya
heran, kalian bukan saudara atau keluarga dari pasien, tapi tingkat
kecocokan kalian sangat tinggi.”
Arya dan Sakti menoleh padaku,
aku mengerti apa yang ingin mereka tanyakan. Aku tersenyum, tak pernah
aku merasa sebahagia ini sebelumnya. “Dokter salah, kami memang bukan
keluarga kandung Abang Ares, tapi kami adalah sahabat, bahkan melebihi
saudara. Kami memamg tidak punya ikatan darah, tapi hati kami telah
terpaut dan tak bisa dipisahkan. Dokter percaya kekuatan cinta kan?
Itulah kenapa tingkat kecocokan kami tinggi, karena kekuatan cinta
antara kami, dan Allah tau bahwa kami adalah orang yang tepat untuk
membantu Abang untuk sembuh dari penyakitnya.”
Dokter tersenyum
mendengar jawabanku. Mungkin baru kali ini ia bertemu dengan seorang
donor sumsum tulang belakang seperti aku yang bahagia mendengar bahwa ia
bisa jadi donor bagi pasien.
“Saya siap menjalankan operasi
transplantasi itu, Dok.” Aku semakin memantapkan keyakinan pada dokter,
dan juga pada hatiku sendiri, meskipun aku belum tau bagaimana reaksi
orang tuaku atas keputusan ini. Tapi aku tak ingin menyia-nyiakan
kesempatan untuk membantu saudara aku sendiri.
Arya dan Sakti
langsung memelukku, aku tak tau perasaan mereka saat ini. Mungkin senang
karena Ares mendapatkan donor sehingga ia bisa sembuh dari penyakitnya.
Mungkin juga sedih karena mereka tau sebesar apa resiko menjadi
pendonor sumsum tulang belakang. Tapi hatiku kini sudah mantap, seolah
kemantapan hati ini datang langsung dari-Nya. Biar hanya ia yang
menentukan apa yang terjadi selanjutnya. Ia yang Mahatahu apa yang
terbaik untukku dan untuk Ares.
—
Ketika mendengar
keputusanku menjadi donor sumsum tulang belakang untuk Ares, Bunda
seketika itu langsung menolak. Ayah hanya diam. Aku memberikan berbagai
argumen yang menguatkan bahwa operasi itu tidak berbahaya. Selain itu,
hal ini adalah momen terbaik untuk aku menjadi seorang yang bermanfaat
bagi orang lain. Ayah seakan mengerti apa yang aku mau, ia setuju dengan
keputusanku. Ia merasa bahwa aku sudah dewasa dan mampu untuk membuat
keputusan sendiri. Dengan berbagai cara, aku dan ayah meyakinkan bunda.
Dengan sedikit aksi diam pada bunda selama dua hari, akhirnya bunda juga
menyetujui keputusanku.
“Bunda bangga sama kamu, Nak. Meskipun
bunda takut, tapi bunda akan berusaha untuk ikhlas agar tujuan muliamu
itu berakhir dengan indah. Bunda hanya bisa bertawakkal pada Allah.”
Dan disinilah aku sekarang, terbaring di ranjang ruang operasi. Ares
memandangku penuh dengan penuh kekhawatiran. Namun aku selalu membalas
dengan senyuman ketenangan, karna hanya itu yang bisa aku lakukan saat
ini, mencoba untuk selalu tenang dan pasrah.
Awalnya Ares tidak
mau melakukan operasi ini, tapi dengan berbagai bujukan dariku, dari
Arya dan Sakti, dari orang tuanya yang ada di Sulawesi sana, serta
dukungan dana dari teman-teman semua, ia akhirnya mau.
“Aku gak
tau mesti bilang apa sama kalian, terutama sama kamu, Lan. kalian telah
mengorbankan segalanya hanya demi aku yang bukan siapa-siapa.” Ucapnya
saat itu sambil meneteska air mata.
“Kita saudara kan, Bang?”
jawabku sambil tersenyum. “Itulah gunanya sahabat, Bang, tidak hanya
berbagi di saat bahagia, tetapi juga saling berbagi di saat susah
seperti ini.”
“Iya Res, kamu gak usah sungkan-sungkan gitu sama kita.” Tambah Sakti. Ares tersenyum penuh rasa terima kasih.
Tirai pembatas antara aku dan Ares di tutup. Operasi akan segera di
mulai. Dokter lalu menyuruhku untuk mengubah posisi menjadi tengkurap
dan menyuntikkan sesuatu padaku. Entahlah, mungkin obat bius, karena tak
lama setelah itu mataku mulai terasa berat dan akhirnya semua menjadi
gelap.
—
Tanah itu masih basah, diatasnya ditaburi
segala jenis bunga yang semerbak. Arya dan Sakti membawaku ke samping
makam itu, makam sahabat terbaik kami. Sahabat terbaik yang pernah aku
miliki. Mataku terasa panas, tapi air mata ini tak boleh keluar.
“Harlan di panggil oleh-Nya beberapa jam setelah operasi dilakukan. Ia
sempat sadar dan mengatakan bahwa ia bahagia bisa memberikan sesuatu
yang berharga untuk kamu. Tak lama kemudian kondisinya drop dan akhirnya
napasnya terhenti. Ia pergi dengan senyuman Res.” Kata Arya saat itu,
saat aku sadar, sehari setelah kepergian Harlan.
Saat aku mulai
membaik pasca operasi, aku memaksa Arya serta Sakti mengantarkanku ke
makam Harlan. Dan saat ini aku duduk disini, di samping nisan
bertuliskan nama Harlan Ferdinand. Aku tak tau harus berbuat apa, aku
hanya bisa memanjatkan do’a agar ia mendapatkan yang terbaik di
sisi-Nya.
‘Aku berjanji, Lan. Aku tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan hidup dari-Nya melalui kau sebagai perantara-Nya. Ini akan
terasa lebih mudah karena kau akan selalu bersamaku di setiap nafas dan
perjalananku. Aku juga berjanji akan menggantikan kau menjaga kedua
orang tuamu, meghormati mereka seperti orang tuaku sendiri, dan akan
selalu bangga pada mereka karena memiliki anak sepertimu. Terima kasih
Harlan, terima kasih saudaraku.”
Arya dan Sakti menuntunku
meninggalkan nisan kaku di atas tanah basah itu, kami meninggalkan makam
Harlan dengan sejuta kesedihan dan harapan. Tapi kami tak akan pernah
meninggalkan Harlan, karena bagi kami ia masih hidup, ia akan selalu
hidup di hati kami, selamanya.
Cerpen Karangan: Cakrawala
Blog: biru47.blogspot.com
Facebook: https://www.facebook.com/yucca.azalea
buat pembaca yang ingin lebihbanyak cerpen langsung aja ke link penulis aslinya ^_^
http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/seindah-jalan-cinta-nya.html
Tuesday, October 21, 2014
info unik yang bisa bikin hati tenang
0 Response to ""saya senang" Cerpen Seindah Jalan Cinta-Nya"
Post a Comment